Opini  

KEBIASAAN ANAK DESA KETIKA BERANGKAT NGAJI

Kabar-harian.com – Inilah kebiasaan anak-anak Desa ketika hendak berangkat mengaji ke mushollah terdekat, Jumat (17/2/2023).

Tradisi apangajih/mengaji (Bahasa Madura Epangajih : Disuruh Mengaji Al-quran ke Mushalla/Surau/Masjid dll.) merupakan salah satu tradisi yang telah mendarah daging bagi orang Madura. Entah sejak abad ke berapa tradisi ini ada, itu belakangan.

Yang jelas, tradisi epangajih tetap lestari dan mengakar kuat hingga kini. Tentu saja, hal tersebut tidak lepas dari potret orang-orang Pulau Garam ini yang tersohor relijius dan taat beragama.

Apangajih adalah tradisi mengaji alquran. Lumrahnya, membaca al-Quran di mushalla/surau/masjid. Mengaji dan apangajih, memiliki arti yang sama.

Sebab, mengaji adalah membaca al-Quran. Dan apangajih juga demikian. Hanya saja, kalau mengaji, lazimnya itu pasca maghrib bagi anak-anak ke langgar bersama guru ngaji.

Sedangkan apangajih, adalah lebih umum. Mulai dari anak-anak, sampai orang tua. Dan apangajih, waktu pelaksanaannya tidak wajib selesai adzan maghrib. Bisa jadi pagi hari, siang hari, hingga malam hari, sesuai situasi dan kondisi. Dan bila selesai mengaji, sama seperti umumnya: adalah diakhiri dengan doa-doa dan makan bersama.

Ada kebiasaan yang menjadi kewajiban saat mau berangkat ngaji, yaitu masih bermain ke rumah temanya, menunggu temannya yang yang sedang siap-siap berangkat, main di jalan, dan berangkat bareng. Barangkali dari kita masih asing dengan istilah santre colog (Bahasa Madura dari santri obor).

Meskipun, saya meyakini, beberapa pembaca (utamanya yang bermukim di Madura) sudah memahaminya tanpa perlu dijelaskan.

Santre colog merupakan sebutan bagi mereka yang biasanya mengaji ke rumah kiai atau surau-surau kampung, dan berangkat dari rumah masing-masing dengan menggunakan obor, yang dalam bahasa Madura dikenal sebagai colog.

Baca juga :  STIEBA Pamekasan Sudah Buka Pendaftaran Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2024/2025

Santre colog gampangnya merupakan istilah yang diperuntukkan bagi mereka yang tidak bermukim di pondok pesantren, melainkan mengaji dengan berangkat dari rumah masing-masing. Sebenarnya penyebutan istilah tersebut dipengaruhi oleh kondisi zaman pada waktu dulu.

Minimnya penerangan di kampung-kampung Madura pada saat itu membuat para santri terpaksa (baca; mengharuskan mereka) menerobos kegelapan malam untuk sampai ke rumah kiai atau surau yang dituju. Biasanya berangkat secara bersama-sama dengan anak-anak lain yang juga akan mengaji.

Lunturnya Tradisi Menginap Santre Colog di Surau

Teknologi digital kini terus merangsek ke setiap level lingkungan, tak terkecuali lingkup terkecil yakni keluarga. Kilatnya laju arus informasi yang masuk mendorong perubahan terhadap banyak hal, salah satunya adalah pola mendidik anak. Banyak orang tua yang memanfaatkan teknologi digital seperti sekarang untuk membantu mendidik anak. Namun, masa transisi tak selamanya berjalan mulus tanpa kendala.

Permasalahan turut muncul ketika anak-anak lebih cenderung asyik bermain dengan gawai mereka sampai lupa untuk berinteraksi sosial. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka akan mempengaruhi karakter dan aktivitas anak dengan lingkungannya. Padahal, berinteraksi dengan teman sebaya dapat memotivasi anak untuk rajin belajar dengan membuat kelompok belajar. Ditinjau dari lingkup Islam dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW pernah menyampaikan bahwa untuk mendidik anak, orang tua harus beradaptasi sesuai dengan perkembangan zaman si anak.

Perhatikan tabel di bawah tentang 10 Perbedaan antara anak zaman now, dg anak zaman dulu,

barangkali sudah jarang kita temukan, atau bahkan tidak ada sama sekali apa yang disebut santre colog itu. Tradisi santre colog menginap di surau atau masjid seakan habis ditelan zaman.

Baca juga :  Manfaat Bunga Telang Untuk Kesehatan Tubuh & Es Bunga Telang

Kecenderungan menginap di masjid atau surau sudah tergantikan dengan tradisi bermalam di pinggir-pinggir jalan, kafe, dan tempat nongkrong lainnya.Padahal, kebiasaan menginap di masjid atau surau memiliki imbas yang baik terhadap perkembangan moralitas mereka sendiri.

Pertama, kebiasaan tersebut bisa menjadi tameng dari pergaulan-pergaulan bebas yang saat ini kerap menjarah kehidupan pemuda. Orangtua pun bisa lebih tenang dalam pengawasan.

Kedua, bisa meningkatkan rasa kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Di sana akan tercipta sikap solidaritas antarsantri. Meskipun tidak berstatus mondok, namun sedikit banyak kebiasaan itu juga berimbas sebagaimana yang juga tercipta di dunia pesantren.

Ketiga, menginap di surau akan semakin membuka banyak peluang para santre colog ini memberikan abdi terhadap kiai. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, setelah Subuh tiba, para santre colog biasanya akan bersama-sama (dengan santri lain) melakukan bersih-bersih di sekitaran masjid atau surau, tak jarang juga di ndalem kiai.

Iklim demikian akan semakin memperkuat hubungan antara santri dan guru di dalam mencari ilmu. Sebab, kita tahu, dalam dunia pesantren, relasi semacam itu sangat dibutuhkan untuk mendukung proses ngalap barokah.

Keempat, sebagai cara untuk melatih santre colog sebelum mondok di pesantren. Sebenarnya, antara hanya menginap di surau dengan mondok di pesantren itu berbeda. Namun, saya meyakini dengan cara ini para santre colog yang akan melanjutkan mondok bisa melatih dirinya, berikut mental dan kesiapan lainnya.

Jadi, kebiasaan menginap di surau yang dilakukan oleh santre colog di masa dulu atau sekarang (meski sudah langka) melahirkan mozaik keilmuan yang unik. Namun, sayangnya di masa ini eksistensi itu sudah sangat jarang kita jumpai. Padahal, manfaat yang dihasilkan sangat baik, Tutupnya. (Lut/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Punya berita?